Unbroken
(2014 - Universal)
Directed by Angelina Jolie
Screenplay by Joel Coen, Ethan Coen, Richard LaGravenese, William Nicholson
Based on the book by Laura Hillenbrand
Produced by Matthew Baer, Erwin Stoff, Clayton Townsend, Angelina Jolie
Cast: Jack O'Connell, Domhnall Gleeson, Garrett Hedlund, Miyavi, Finn Wittrock, Jai Courtney, Alex Russell, John Magaro, Luke Treadaway
Harus diakui, daya tarik utama film Unbroken adalah
sutradaranya, Angelina Jolie. Ini memang bukan film pertama dari aktris
pemenang Oscar tersebut sebagai sutradara. Tetapi, ini adalah film
"Hollywood" pertamanya (film pertamanya, In the Land of Blood and
Honey memakai bahasa Bosnia dan Serbia). Untungnya, Jolie sanggup
mempertanggungjawabkan ekspektasi tersebut dengan sebuah sajian dengan nilai
produksi tinggi. Namun, di sisi lain Jolie sedikit terhanyut dalam ceritanya
sendiri, sehingga kurang bisa menyampaikan poinnya dengan jelas.
Unbroken diangkat dari sebuah buku karangan Laura
Hillenbrand, berdasarkan kisah nyata dari seorang mantan atlet nasional AS
cabang atletik di Olimpiade Berlin 1936, Louis "Louie" Zamperini.
Zamperini tidak hanya menarik karena punya prestasi kelas dunia, tetapi ia jadi
salah satu prajurit AS yang sanggup bertahan hidup sebagai tahanan perang
Jepang di Perang Dunia II. Setelah perang berakhir, ia pun membagi berbagai
pengalamannya yang luar biasadalam berbagai kesempatan sebagai pembicara
inspirasional berbasis religi Kristen.
Dari sana, film Unbroken mengambil episode paling dramatis
dari kehidupan Zamperini. Saat menjalankan misi di Samudera Pasifik di tahun
1943, pesawat militer yang dinaiki Zamperini mengalami kecelakaan, membuat
Zamperini dan dua rekan lain yang selamat terapung-apung selama lebih dari 40
hari. Mereka berhasil ke darat, namun karena diangkut oleh tentara Jepang, mereka
dijadikan tahanan perang hingga tahun 1945.
Dalam menuturkan kisah Zamperini, film ini rupanya tidak
hanya ingin memperlihatkan secara lebih dekat bagaimana ia mampu terus bertahan
di tengah penderitaan yang begitu panjang. Film ini juga sepertinya ingin
menghormati status Zamperini (yang baru wafat pertengahan tahun 2014) sebagai sosok
inspirator religius. Alhasil, film ini bisa juga dipandang dalam perspektif iman
Zamperini itu. Atau, setidaknya itulah niatnya.
Sayangnya, Unbroken kurang bisa menyatukan niat-niat itu
menjadi sebuah tontonan yang terintegrasi. Film ini awalnya disajikan layaknya
biografi Hollywood lazimnya, yaitu perkenalan sosok Louie Zamperini (Jack O'Connell)
dari kecil hingga jadi atlet Olimpiade, lalu beranjak pada pengalaman luar
biasa di Samudera Pasifik dan di kamp tahanan Jepang. Namun, film ini jadi
tersandung ketika masuk dalam niat menjadikan film ini inspiratif dan
memotivasi.
Memang ada khotbah di gereja tentang pengampunan, ada doa
penyerahan diri, ada pula ucapan motivasional dari kakak Louie, Pete (Alex
Russell), "If you can take it, you can make it". Tetapi, semuanya itu
ditampilkan bak tempelan saja, hanya diucapkan tanpa benar-benar kentara
penerapannya dalam adegan-adegan selanjutnya di film. Yang lebih banyak
ditunjukkan secara detail di film ini justru bagaimana pesawat Louie jatuh,
bagaimana Louie dan kawan-kawan bertahan hidup di laut lepas, dan bagaimana
Louie disiksa di kamp tahanan dan disuruh kerja paksa. Nilai-nilai motivasi
yang sudah dicoba ditanam di awal, seakan tenggelam.
Alhasil, film ini baru ketahuan sebuah "film
inspiratif" ketika muncul teks keterangan di akhir film. Bahwa poin dari
semua cerita ini adalah bagaimana Zamperini pantang menyerah untuk hidup, lalu kemudian
mempersembahkan hidupnya untuk melayani Tuhannya, dan bahwa ia mau berdamai dan
mengampuni semua anggota tentara Jepang yang menyiksanya sedemikian rupa.
Termasuk pemimpinnya, Watanabe (dimainkan bintang rock Jepang, Miyavi), yang entah
kenapa selalu menjadikan Zamperini target kekejamannya. Padahal, petunjuk bahwa
film ini mengarah ke poin tersebut nyaris tak ada.
Akan tetapi, di luar kurang sinkronnya cerita yang dituturkan
dengan niat yang mau disampaikan, Unbroken bukanlah sebuah persembahan yang
buruk. Bila dipandang sebagai sebuah kisah deskriptif tentang masa-masa
penderitaan Zamperini, film ini menjalankannya dengan baik. Dari
adegan-adegannya pun, bisa ditangkap rasa pedih dan miris yang harus dirasakan
Zamperini kala itu, sekalipun penyajiannya tidak terlalu vulgar. Hal ini
kemudian diperkuat oleh akting para pemainnya, serta presentasi gambar yang
cantik dari penata sinematografi Roger Deakins, yang menambah nilai
melankolisnya.
Film ini pun cenderung tidak mau terjebak pada glorifikasi
perang. Meski digambarkan tentara Sekutu dieksploitasi habis-habisan oleh Jepang,
tetapi film ini juga memperlihatkan dampak buruk perang di sisi Jepang,
terutama setelah perang dinyatakan usai. Ini mungkin bisa dimengerti bila
mengenal Jolie yang memang sering terlibat dalam kegiatan misi kemanusiaan. Adegan
perang di film ini pun termasuk minim, hanya ada adegan perang di udara di awal
film yang ditata intens.
Film ini pada akhirnya lebih banyak berfokus pada dampak
perang, khususnya bagi Zamperini. Film ini sudah cukup baik hanya dengan itu.
Seandainya penanaman nilai-nilai "inspiratif"-nya lebih baik dan
mulus, mungkin film ini bisa lebih sempurna.
My score: 6,5/10
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com
Komentar
Posting Komentar