[Movie] Bulan di Atas Kuburan (2015)


Bulan di Atas Kuburan
(2015 - Sunshine Pictures/MAV Production/FireBird Films)

Directed by Edo W. F. Sitanggang
Screenplay by Dirmawan Hatta
Based on the 1973 film written by Asrul Sani
Produced by Dennis Chandra, Tim Matindas, Leonardo A. Taher
Cast: Rio Dewanto, Donny Alamsyah, Tio Pakusadewo, Atiqah Hasiholan, Ria Irawan, Andre Hehanusa, Annisa Pagih, Arthur Tobing, Nungky Kusumastuti, Mutiara Sani, Remy Sylado, Otis Pamutih, Alfridus Godfred, Adi Kurdi, Monica Setiawan, Meriam Bellina, Ray Sahetapy


Remake bukanlah sesuatu yang sering dilakukan di blantika film Indonesia. Ketika ada sebuah film yang di-remake, tentu yang patut dipertanyakan adalah kenapa harus di-remake. Bulan di Atas Kuburan, remake dari film berjudul sama yang ditulis dan disutradarai Asrul Sani di tahun 1973, tentu tidak akan lolos dari pertanyaan itu. Namun, sutradara Edo W.F. Sitanggang dan penulis (juga tercantum sebagai ko-sutradara) Dirmawan Hatta tak perlu menjawab secara langsung pertanyaan itu, karena isi filmnya sendiri sudah menyuarakannya.

Film Bulan di Atas Kuburan versi asli mengambil judul dari puisi karya Sitor Situmorang berjudul Malam Lebaran, yang isinya cuma satu baris berbunyi "bulan di atas kuburan." Baris itu kemudian dikembangkan menjadi cerita tentang para pemuda dari sebuah kampung di pulau Samosir, Sumatra Utara yang nekad mengadu nasib di Jakarta. Sampai akhirnya mereka melihat kenyataan bahwa kesuksesan yang mereka cari tidak segampang itu diraih. Dalam versi barunya, esensi itu kemudian diangkat dalam setting yang kekinian. Lucunya, pesan yang diusung dalam film produksi 42 tahun yang lalu masih sangat berlaku sampai sekarang.

Fokus film ini tertuju pada dua tokoh pemuda yang baru pertama kali menginjakkan kaki di ibukota, Sahat (Rio Dewanto) dan Tigor (Donny Alamsyah dalam salah satu performa terbaiknya). Sahat adalah orang yang lebih terdidik dan dikisahkan piawai menulis. Ia ke Jakarta punya modal dan tujuan, yaitu menanyakan tentang nasib novel pertamanya yang telanjur diambil oleh sebuah penerbit. Berbeda dengan Tigor, yang modal keahlian dan tujuannya ke Jakarta tidak sejelas Sahat. Akhirnya, ia mengambil kesempatan yang ada saja, jadi tukang catat angkutan kota di sebuah terminal.

Perjalanan dua tokoh ini disajikan dengan kontras, walau kejadian-kejadian yang mereka lewati bersifat paralel. Sahat beruntung bisa masuk ke lingkungan kelas atas. Bakatnya dalam sastra membawanya bertemu dengan calon istrinya, Mona (Atiqah Hasiholan), yang tak lain adalah putri dari pemilik perusahaan penerbitan. Akan tetapi, sebagai harganya, ia harus menekan idealisme dan ikut mertuanya dalam kampanye salah satu calon presiden, termasuk menjadikan novelnya sebagai alat propaganda dalam bentuk film.

Di lain pihak, Tigor hidup masih pas-pasan dan berkutat di dunia bawah yang dikuasai preman. Kepolosan dan kegigihannya menarik perhatian para "penguasa". Ketika lahan pekerjaannya dialihfungsikan, ia akhirnya diterjunkan ke dunia kekerasan. Masalahnya, di dunia sepert itu, tidak ada hukum dan aturan yang dapat melindunginya. Rupanya, baik punya modal keahlian ataupun tidak, Jakarta selalu punya cara untuk membelokkan kehidupan orang.

Di luar Sahat dan Tigor, sebenarnya ada juga kisah Sabar (Tio Pakusadewo), rekan sekampung Sahat dan Tigor yang telah lebih dulu ke ibukota, dan yang jadi pendorong Sahat dan Sabar untuk mengikuti jejaknya. Dalam film ini ia tidak jadi fokus utama, melainkan lebih sebagai perekat antara Sahat dan Tigor yang berkutat dengan kehidupan dan perjuangan masing-masing. Sabar mungkin terlihat lebih perlente ketika pulang kampung, tetapi di Jakarta ia juga susah payah mencari penghidupan layak. Jadilah ia seorang pengurus tender proyek, sebuah bidang yang banyak "permainan".

Film Bulan di Atas Kuburan mungkin bukanlah film yang menuturkan narasi semata. Film ini bisa dipandang sebuah cara menyampaikan statement tertentu. Dan, ternyata statement itu bukan sekadar soal "mengadu nasib di ibukota tidak seindah angan-angan, maka pulanglah membangun kampung halaman". Ada satu lapisan lagi yang hendak disampaikan film ini, yaitu bagaimana kehidupan di kota besar—dalam hal ini Jakarta—dapat mengubah orang.

Di bagian awal ada sebuah karakter yang tampil singkat, diperankan oleh Ray Sahetapy. Ia digambarkan gemar membual tentang kehidupan jetset-nya, tapi belakangan diketahui ia naik bus tanpa bayar ongkos, dan makan siangnya dibayari oleh Sahat dan Tigor. Bagian singkat ini rupanya menjadi semacam prophecy bagi apa yang terjadi pada para karakter ini. Sahat akhirnya tidak lagi mampu berkarya secara murni setelah terkontaminasi rumitnya realita kehidupan kota besar. Sabar menjadi orang yang kebal dengan perbuatan yang melanggar hukum demi kesuksesan. Tigor yang tadinya ramah dan lembut pun akhirnya dipaksa untuk jadi alat kekerasan.

Film ini pun berhasil menyampaikan statement-nya itu itu secara perlahan dan menyatu dalam jalan cerita dan karakternya. Hampir tidak ada hal yang terlalu verbal dalam menyampaikannya, juga tidak terlihat memaksa untuk menekan filmnya menjadi depresif. Sesuai dengan spirit cara pandang masa kini, keadaan, peristiwa, dialog, dan perilaku yang ditunjukkan film ini tampak natural dan dekat dengan keseharian, tidak ada yang tampak dilebih-lebihkan atau karikatur. Gegar budaya Sahat dan Tigor saat datang ke Jakarta tidak digambarkan dengan tindakan-tindakan norak, melainkan dengan betapa mereka bingung melihat keriuhan dan keangkuhan kota. Mereka juga tidak menghakimi setelah melihat kehidupan Sabar yang ternyata tidak sesejahtera yang ia pamerkan, melainkan tetap respek karena Sabarlah orang pertama (mungkin satu-satunya) yang menunjukkan keramahan-tamahan di Jakarta.

Tokoh-tokohnya tidak sampai harus terlihat sesengsara mungkin demi menarik simpati, karena "kekejaman" ibukota bukan lagi sekadar persoalan susahnya cari uang, tetap lebih kepada ketidakpastian yang berkepanjangan, dan samarnya kawan dan lawan. Film ini juga dengan baik menyorot berbagai sisi Jakarta tanpa jadi sekadar kolase gambar. Gambaran kontras kemewahan dan keruwetan Jakarta, dan segala hal di antaranya, tampak menyatu dengan kehidupan karakternya, tanpa ada kesan sebagai kampanye pro atau anti-Jakarta. Tapi, unsur dramatisnya juga tidak hilang, terima kasih pada keberadaan karakter seperti Mona, Minar (Ria Irawan), dan Martin (Alfridus Godfred, yang tenar lewat The Raid) yang memberi dinamika dalam cerita yang sesuai porsinya.

Jika ada hal yang kurang, mungkin itu tertuju ada pada penuturan film ini yang terkesan lompat-lompat, seperti ada proses cerita yang terputus. Contohnya, film ini tidak menunjukkan bagaimana Tigor mendapat pekerjaan pertamanya di terminal. Yang ditunjukkan hanyalah bagaimana Tigor menyelamatkan Jantuk (Otis Pamutih) dari buruan preman, selanjutnya ada adegan Tigor sudah jadi pencatat di terminal dan mengobrol akrab dengan Jantuk. Bisa jadi itu adalah pilihan artistik para pembuat film ini—mirip dengan film-film garapan Dirmawan Hatta sebelumnya, seperti Optatissimus dan Kau dan Aku Cinta Indonesia. Tidak ada yang salah sebenarnya, karena pada akhirnya kaitan dari adegan-adegan tersebut selalu bisa terjelaskan sendirinya. Hanya saja, mungkin ini bukan cara penuturan yang membuat nyaman yang menontonnya.

Tapi, jangan bayangkan Bulan di Atas Kuburan adalah sebuah film yang "nyeni" dengan banyak simbol. Memang ada kecenderungan ke sana, tapi pada akhirnya film ini tetap sebuah sajian yang masih mudah dicerna lewat tata adegan dan dialog yang dekat dengan keseharian, dan di saat bersamaan mampu menyampaikan gagasan utamanya tanpa mengumbar kelewat lugas. Jika niatnya adalah untuk menyegarkan kembali gambaran dan gagasan tentang kejamnya ibukota, Bulan di Atas Kuburan versi baru ini sudah berhasil dengan caranya sendiri.




My score: 8/10

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com

Komentar